Rasa Percaya Masyarakat

Tuesday, October 18, 20110 comments

Oleh Toeti Adhitama
Kegaduhan akibat rusaknya nilai-nilai kemasyarakatan, kekeluargaan, dan moralitas akan menjauhkan kita dari kemakmuran dan kesejahteraan."

KEYAKINAN untuk mencapai kemakmuran bersama sebagai keniscayaan mengharuskan lahirnya suatu kesadaran kolektif bahwa pemikiran, kerja, kemauan, semangat, dan kehendak rakyat untuk keluar dari krisis dan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik sebagai suatu keharusan, sebagai suatu nilai, dan sekaligus sebagai suatu ‘state of mind’.” Ungkapan Susilo Bambang Yudhoyono itu dikutip dari buku Revitalisasi Ekonomi Indonesia (Brighten Institute, 2003) yang dianggap sebagai platform politikekonomi SBY di masa lalu, yang bisa menjadi referensi untuk masa kini; dan mudah-mudahan juga ke depan. Dari platform itu, kita bisa membayangkan apa yang pada awalnya diangankan Presiden Yudhoyono untuk rakyat Indonesia. Untuk mewujudkannya, tentunya diperlukan pembantu-pembantu yang profesional dan mumpuni.
Pengumuman reshuffle kabinet beberapa hari lagi mudah-mudahan mencerminkan aspirasi tersebut. Namun, ada saja yang menyangsikan apakah reshuffle akan mampu mengatasi kemelut yang ada. Kepercayaan masyarakat seakan digilas oleh perilaku oknum-oknum yang membuat kehidupan bangsa menjadi gaduh dan mengacaukan program-program negara yang sedianya bertujuan menyejahterakan rakyat. Tidak semua peka dan peduli.
Rasa percaya terhadap jajaran pemimpin yang dilahirkan lembaga-lembaga politik yang dianggap pilar-pilar demokrasi adalah suatu keniscayaan. Namun, akhir-akhir ini terungkap banyak peristiwa yang mengikis rasa percaya dan harapan masyarakat. Hal tersebut merupakan persepsi yang ada pada segolongan yang mengerti setelah berbulan-bulan menyaksikan drama komedi politik yang dimainkan sejumlah politikus.
Disebut segolongan yang mengerti karena, sejatinya, hanya sebagian kecil rakyat yang sepenuhnya mengerti. Bahkan dari yang mengerti itu pun masih ada yang sangsi; mungkin karena tidak percaya para pemimpin bisa berdusta. Mereka menafikan kemungkinankemungkinan yang nantinya bisa merugikan kita bersama.
Hal itu benar-benar sesuai dengan pengamatan sejarawan Inggris Arnold Toynbee (18891975). Dia mengatakan bahwa kaum politisi memilih karier di bidang politik hingga menjadi profesional dalam hal membujuk elektorat untuk memilih mereka; baik untuk berkuasa maupun untuk tetap dalam kekuasaan.
Mayoritas rakyat kita memang gampang dibujuk. Terlebih mayoritas konstituen terdiri dari mereka yang berpendidikan menengah ke bawah, yang tidak berpikir muluk-muluk karena terlalu sibuk dengan urusan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak menjangkau pergumulan pemikiran tentang ideologi sosial-politik ataupun ekonomi. Dari sekitar 165 juta tenaga kerja, lebih dari separuhnya berpendidikan SD, sekitar 70 juta berpendidikan menengah, dan hanya 10 juta berpendidikan tinggi. Bahkan kalangan 10 juta lapisan terdidik paling atas pun tidak semuanya peka atau peduli mengenai urusan politik, walaupun mengikuti perkembangannya. Mereka menjadi peduli bila ada halhal yang langsung menyangkut kepentingan mereka. Kehidupan modern menuntut mereka bersikap pragmatis.
Fakta lain yang menimbulkan distorsi dalam kemurnian dan/atau kejujuran pilihan konstituen ditentukan oleh tingkat penghidupan mereka. Kemiskinan mendera sekitar separuh penduduk Indonesia, bila kita mengukurnya dengan tolok ukur Bank Dunia, yakni yang berpenghasilan kurang dari US$2 per orang per hari dianggap miskin. Menurut tolok ukur kita, jumlah kaum melarat sekarang mencapai sekitar 13% atau 32 juta orang. Dari 220 juta rakyat miskin dunia, Indonesia dianggap salah satu negara yang paling banyak menampung orang miskin.
Dalam situasi seperti itu, dapat dipastikan money politics akan merajalela di seputar pemilu atau bahkan jauh sebelumnya, sebab mayoritas pemilih menghendaki jawaban untuk kebutuhan ‘instan’. Terjadi jual beli suara pada semua tingkat. Retrospeksi, introspeksi, dan inspeksi Tiap warga memang sebaiknya memilih sistem politik, sosial, dan ekonomi sesuai dengan kepribadian bangsa.
Artinya, sesuai dengan tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, tingkat sosial, dan posisinya di kalangan masyarakat internasional. Rasanya janggal kalau kita mengikuti sistem dan cara hidup yang berlaku di negara maju, sedangkan mayoritas penduduk hanya mampu menjadi penonton. Perlu diadakan survei untuk mengetahui berapa banyak penduduk kita yang benar-benar mampu mengikuti cara hidup dan jalan pikiran orang-orang di negara maju.
Juga perlu diteliti apa yang diinginkan kaum buruh dan tani yang hidup dan bekerja secara tradisional. Berapa jumlah mereka? Dari jawaban mereka dapat diperkirakan apa kekurangan dan kelebihan masyarakat kita secara umum.
Sudah saatnya partai-partai politik menyusun secara terperinci platform dan programprogram macam apa yang diperlukan untuk mengatasi persoalan bangsa. Rakyat yang mengerti perlu tahu. Yang tidak mengerti perlu diberi tahu. Yang diperlukan ialah kebijakan yang berani, bijaksana, adil, santun, berwibawa, murah hati; yang mau dan mampu menanggapi aspirasi rakyat. Platform juga perlu mengindikasikan tokohtokoh mana atau macam apa yang diunggulkan dan apa solusi-solusi yang mereka tawarkan terhadap berbagai persoalan.
Platform semacam itu idealnya beredar jauh sebelum pemilu. Dengan platform terperinci, rakyat akan tahu yang mana di antara partai-partai politik itu yang sekiranya bisa mengatasi problem penghidupan masyarakat dan bisa mengangkat mereka dari kesengsaraan dan rasa ketidakpastian.
Dr Francis Fukuyama, lulusan Harvard, mengajukan tesis, “Bagi kesejahteraan sebuah bangsa, modal sosial dan tingkat saling percaya di antara warganya sama penting dengan modal fisiknya. Kebaikan dan moralitas tidak merata di kalangan berbagai masyarakat.
Setiap budaya nasional memiliki tingkat kepercayaan sosial (social trust) yang berbeda-beda, di luar lingkungan keluarga atau kerabat. Masyarakat Jepang dan Jerman, misalnya, yang memiliki kepercayaan sosial yang tinggi, cenderung lebih berhasil dalam menciptakan kemakmuran bagi masyarakat.” (Trust: The Social Virtues & The Creation of Prospe rity, 1995).
Fukuyama selanjutnya menyatakan, walaupun setelah lama mencari, akhirnya diputuskan bahwa sistem yang terpilih adalah pemerintahan yang demokratis dan perekonomian terbuka, dengan beberapa sistem dalam koridor sama tampak lebih berkembang daripada yang lain-lain. Itulah yang membedakan pemerintahan-pemerintahan yang tampak berkembang. Adapun hal lainnya yang tampak menurun bukanlah kebebasan atau kapitalisme, melainkan nilainilai yang dianut. Nilai-nilai kemasyarakatan, kekeluargaan, dan moralitas tidak dengan sendirinya ada dalam demokrasi atau kapitalisme. Menurut dia, dalam ekonomi global, hanya masyarakat-masyarakat yang memiliki kepercayaan sosial yang tinggi yang mampu menciptakan kemakmuran.
Setelah membaca tesis Fukuyama, menjadi imperatif untuk mengatasi jenis kemelut yang membuat gaduh masyarakat sekarang ini dengan pendekatan social trust. Kegaduhan akibat rusaknya nilai-nilai kemasyarakatan, kekeluargaan, dan moralitas akan menjauhkan kita dari kemakmuran dan kesejahteraan. Korupsi yang tidak terkendalilah yang pertamatama harus dibasmi.
*) Tulisan pernah dimuat di Media Indonesia, 14/10/2011
Penulis adalah anggota Dewan Pertimbangan PP Nasional Demokrat
Share this article :

Detik .com

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Partai Nasdem - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Premium Blogger Template